2. Mengetahui suhu glatinisasi pati pada tepung tapioca dan tepung maizena.
3. Mengetahui pengaruh suhu gelatinisasi terhadap perubahan viskositas pati selama pemanasan
II. DASAR TEORI
Sifat-sifat karbohidrat
Beberapa sifat karbohidrat antara lain:
Sedangkan sifat-sifat umum karbohidrat menurut Soeharsono (1978), adalah sebagai berikut:
(Soeharsono,1978)
Menurut kompleksitasnya karbohidrat digolongkan sebagai berikut :
a. Monosakarida
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, yaitu:
a. Amilosa, merupakan fraksi yang terlarut dalam air panas yang mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-1,4-D-glukosa.
b. Amilopektin, merupakan fraksi yang tidak larut dalam air panas dan mempunyai struktur bercabang dengan ikatan α-1,6-D-glukosa.
(Winarno, 2002)
Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat dalam serealia, contohnya beras. Semakin kecil kandungan amilosanya atau semakin tinggi amilopektinnya maka semakin lekat nasi tersebut (Winarno, 2002).
Proses gelatinisasi dipengaruhi beberapa hal, yaitu:
Komponen Kadar
Kalori 364 kal
Protein 7,0 g
Lemak 0,51 g
Hidrat arang 80 g
Kalsium 5 mg
Fosfor 140 mg
Besi 0,8 mg
Vitamin A 0 SI
Vitamin B1 0,12 mg
Vitamin C 0 mg
Air 12 g
b.d.d 100 %
(Anonim, 1972)
Komponen Kadar
Kalori kal
Protein 0,4 g
Lemak 0,1 g
Hidrat arang g
Kalsium mg
Fosfor mg
Besi mg
Vitamin A 0 SI
Vitamin B1 mg
Vitamin C 0 mg
Air 12 g
b.d.d 100 %
(Anonim, 1972).
A. ALAT
1. tabung reaksi (21)
2. pipet ukur 1 ml & 10 ml (3)
3. pipet ukur 100 ml (1)
4. gelas beker (4)
5. mikroskop (1)
6. gelas obyek dan penutup (4)
7. pipet tetes (2)
8. pengaduk (1)
9. sendok the (2)
10. thermometer (1)
11. pemanas air (2)
12. test plate (1)
13. pH meter (1)
14. Serbet(1)
B. BAHAN
1. larutan sukrosa 5%
2. larutan glukosa 0,1M
3. tepung tapioca
4. tepung maizena
5. air kapur
6. larutan HCl 0,1N
7. larutan NaOH 0,1N
8. kristal NaHCO3
9. reagen benedict
10. larutan iodine encer
11. aquadest suhu kamar, 600C, 750C, 1000C
12. air suling
C. CARA KERJA
1. Pengaruh asam dan alkali terhadap sakarosa
Larutan sakarosa 5%
2. pengaruh asam dan alkali terhadap maltosa
Larutan maltosa 5%
3. Pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa
Larutan glukosa 0,1 N
4. Gelatinisasi pati
Pati (tapioka dan maizena)
IV. HIPOTESIS
1. Sakarosa stabil dalam kondisi sedikit alkalis dan kondisi netral tetapi tidak stabil atau mengalami hidrolisis menjadi monomer-monomernya yaitu glukosa dan fruktosa dalam suasana asam.
2. Glukosa stabil dalam kondisi sedikit asam dan netral tetapi akan mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan pencoklatan non-enzimatis dalam suasana alkalis dan pemanasan.
3. Maltosa stabil pada kondisi sedikit asam dan tidak stabil setelah pemanasan kedua akibat penambahan benedict.
4. Suhu gelatinisasi pati pada tepung tapioca terjadi pada suhu 52-64oC, sedangkan tepung maizena terjadi pada suhu 62-70oC. Perbedaan suhu gelatinisasi ini dipengaruhi oleh perbedaan komposisi amilosa dan amilopektin, perbedaan besar granula, dan perbedaan bentuk granula dari masing-masing tepung.
V. PEMBAHASAN
1. Pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa dan maltosa
perlakuan Pemanasan 1 Pemanasan 2
sebelum Sesudah sebelum sesudah
Sukrosa+air kapur Pth bening Pth bening Biru Biru
Sukrosa+HCl 0,1 N Pth bening Pth bening Biru Mrh bata
Sukrosa+aquades Pth bening Pth bening Biru Biru
Kontrol Biru Biru - -
Maltosa+air kapur Kng bening Kng bening Biru Mrh bata, E
Maltosa+HCl 0,1 N Kng bening Kng bening Biru Mrh bata, E
Maltosa+aquades Kng bening Kng bening Biru Mrh bata, E
Control biru Mrh bata, E - -
Ket : pth bening = putih bening
Kng bening=kuning bening
Mrh bata=merah bata
E = endapan
Pada percoobaan kali ini kita bertujuan untuk mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa dan maltosa. Percobaan dilakukan dengan prinsip penambahan tiga larutan yang memiliki tingkat keasaman yang berbeda (asam, basa, dan netral). Suasana asam diwakilkan dengan penambahan HCl 0,1 N, suasana basa deiwakilkan dengan penambahan air kapur, dan suasana netral diwakilkan dengan penambahan aquadest. Selain itu, juga dilakukan pemanasan dua tahap dan uji benedict. Uji benedict ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gugus reduksi pada sukrosa dan maltosa. Gugus reduksi ini mempunyai daya untuk mereduksi. Kemampuan ini disebabkan karena kandungan gugus reduktif yang mempunyai batasan yaitu gugus -OH bebas yang terikat pada atom C hemiasetal. Menurut Sudarmadji (2003), Gula reduksi dengan larutan Benedict (campuran garam kuprisulfat, Natrium sitrat, Natrium karbonat) akan terjadi reaksi reduksi-oksidasi dan dihasilkan endapan berwarna merah bata dari kuprooksida. Jadi kriteria untuk reaksi positif adalah terbentuknya endapan kuprooksida dengan warna merah bata.
Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu mengambil 2 ml larutan sakarosa 5% dan maltosa 5 % dimasukkan dalam tiga tabung reaksi. Larutan maltosa dimasukkann kedalam 3 tabung reaksi dan larutan sukrosa juga dimasukkan kedalam 3 tabung reaksi yang berbeda. Kemudian pada tabung reaksi 1 ditambahkan 5 ml air kapur untuk mengetahui pengaruh basa terhadap sifat reduktif dari sakarosa, pada tabung reaksi 2 ditambahkan 5 ml HCl 0,1 N yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh asam terhadap perubahan sifat sakarosa dan maltosa dari gula non reduksi yang dapat terhirolisis menjadi gula reduksi yaitu glukosa dan fruktosa, dan pada tabung reaksi 3 ditambahkan 5 ml aquadest. Ambil satu tabung reaksi (tabung reaksi 4) dan isi dengan sukrosa dan maltosa (masing-masing 2 ml) dan tambahkan benedict. Tabung rekasi keempat ini sebagai control/pembanding.
Setelah itu keempat tabung didihkan selama 2-3 menit di atas api. Pemanasan I ini ditujukan untuk mempercepat reaksi antara sakarosa dengan basa (air kapur), asam (HCl), dan aquades, serta untuk mempercepat terjadinya reaksi hidrolisa sakarosa dengan HCl tanpa merusak molekul gula menjadi monosakarida penyusunnya yaitu glukosa dan fruktosa (Tranggono, 1987).
Setelah pemanasan pertama, amati perubahan warnanya. Setelah pemanasan 1 ini tidak tampak perubahan warna. Pada tabung ke4 (control) tidak terjadi perubahan warna juga. Tidak adanya perubahan warna menunjukkan bahwa penambahan alkali dan asam belum mampu menghidrolisis sukrosa dan maltosa. Pemanasan 1 hanya berfungsi sebagai peregang ikatan antar monosakarida-monosakarida pada sukrosa dan maltosa namun belum bisa menghidrolisa sempurna sukrosa dan maltosa.
Langkah berikutnya adalah menambahkan NaHCO3 kristal pada tabung rekasi kedua. Penambahan ini bertujuan untuk memberikan suasana sedikit basa. Pada suasana yang sedikit basa, benedict mampu bekerja secara maksimal. Benedict tidak dapat bekerja dengan baik pada kondisi asam. Tujuan penambahan benedict adalah untuk mengetahui ada tidakny agugus reduksi pada sukrosa dan maltosa sehingga dapat diketahui apakah terjadi hidrolisis atau tidak dengan penambahan larutan yang berbeda tingkat keasamannya.
Setelah ditambahkan NaHCO3 kristal, masing-masing tabung (kecuali tabung 4) diambil 2 ml. kemudian tambahkan benedict sebanyak 3 ml. Penambahan benedict mengakibatkan ketiga tabung reaksi (sukrosa dan maltosa) berwarna biru.
Sisa sukrosa dan maltosa pada tabung reaksi ke2 ditambahkan air kapur. Penambahan air kapur ini tidak mempengaruhi warna pada sukrosa dan maltosa setelah ditambah HCl. Kemudian dipanaskan dan amati perubahan warnanya. Setelah diamati, ternyata tidak terjadi perubahan warna namun terdapat endapan. Hal ini disebabkan karena Ca pada air kapur menyebabkan terbentuknya endapan. Endapan juga disebabkan karena terdapatnya garam-garam yang sukar larut yang berasal dari larutan benedict. Endapan juga disebabkan karena terdapatnya garam-garam yang sukar larut yang berasal dari larutan benedict.
Ketiga tabung pada sukrosa dan tiga tabung pada maltosa dipanaskan kembali (pemanasan 2). Lalu amati perubahan warnanya. Pada ketiga tabung sukrosa, tabung ke2 berubah warnanya menjadi merah bata. Hal tersebut menunjukkan hasil yang positif terhadap uji benedict. Perubahan warna dan endapan merah bata yang terbentuk, terjadi karena adanya peristiwa hidrolisis sakarosa sebagai gula non-reduktif menjadi gula reduksi (glukosa dan fruktosa) yang akan mereduksi ion logam cuprioksida (CuO) menjadi cuprooksida (Cu2O).
Mekanisme reaksi hidrolisis sakarosa menjadi fruktosa dan glukosa adalah sebagai berikut:
C12 H22O11 + H2O6 C6H12O6 + C6H12O6
Sukrosa Fruktosa glukosa
(Sudarmadji, 2003)
Sedangkan tabung 1 pada sukrosa tidak mengalami perubahan warna (tetap biru). sukrosa dalam suasana alkali bersifat stabil, tidak terhidrolisa. Jika sukrosa berada dalam keadaan alkalis, maka sukrosa akan memberikan hasil yang negatif pada uji Benedict. Larutan alkalis tidak mampu menghidrolisis ikatan glikosidik dalam sakarosa sehingga sakarosa tetap memiliki sifat non-reduksi. Dalam hal ini, larutan Benedict yang ditambahkan tidak tereduksi dan warna larutannya tetap, meskipun sudah dipanaskan (Soeharsono, 1978).
Tabung ketiga tidak mengalami perubahan warna (teteap biru). Secara umum, penambahan aquadest ke dalam larutan sakarosa berfungsi untuk menunjukkan sifat sakarosa dalam pH netral yaitu dalam kisaran pH aquadest antara 6 sampai 7. Pada pH netral sakarosa relatif stabil karena tidak terjadi perubahan warna pada saat sebelum dan sesudah pemanasan kedua serta penambahan larutan Benedict.
Pada ketiga tabung maltosa, semua tabung mengalami perubahan warna menjadi merah bata dan terdapat endapan. Intensitas warna pada ketiga tabung maltosa berbeda-beda. Tabung kedua memiliki intensitas warna yang paling tinggi, kemudian berturut-turut tabung pertama lalu tabung ketiga (intensitas warna paling rendah).
Perubahan warna pada ketiga tabung maltosa ini disebabkan karena maltosa telah terhidrolisis menjadi monomer-monomernya yaitu 2 monomer glukosa. Maltosa memiliki gugus reduksi sehingga dapat terhidrolisis. Adanya endapan karena masih terdapatnya garam-garam yang tidak larut yang berasal dari larutan benedict. Perbedaan intensitas warna disebabkan karena larutan benedict dapat bekerja paling efektif pada suasana sedikit basa, sedangkan pada suasana alkali kurang efektif begitu juga pada suasana netral sehingga warna pada tabung 1 dan 3 kurang pekat.
Percobaan untuk mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap maltosa dilakukan melalui tahap-tahap yang sama pada percobaan yang dilakukan pada sukrosa.
2. pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa
Perlakuan Pemanasan
Sebelum Sesudah
Glukosa+ NaOH 0,1 N Putih bening Kuning bening
Glukosa + HCl 0,1N Putih bening Putih bening
Glukosa + aquadest Putih bening Putih bening
Percobaan kedua ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa. Prinsip kerja percobaan ini adalah mereaksikan glukosa dengan larutan NaOH 0,1 N untuk mengetahui pengaruh basa (alkali), dengan larutan HCl 0,1 N untuk mengetahui pengaruh asam, dan dengan aquades sebagai larutan netral atau pembanding.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengambil larutan glukosa 0,1 N dan dimasukkan dalam 3 tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml. Tabung reaksi 1 ditambah dengan NaOH 0,1 N untuk mengetahui pengaruh alkali terhadap glukosa, tabung reaksi 2 ditambah dengan HCl 0,1 N untuk mengetahui pengaruh asam terhadap glukosa, dan pada tabung reaksi 3 ditambahkan aquades (pemberi suasana netral sebagai pembanding atau kontrol. Masing-masing tabung reaksi tersebut dipanaskan diatas kompor spiritus sampai mendidih selama 2-3 menit dan diamati perubahan warna yang terjadi.
Tabung pertama (ditambah NaOH) mengalami perubahan warna yaitu menjadi kuning bening. Hal ini disebabkan karena penambahan basa mengakibatkan terjadinya dekomposisi dan karamelisasi (pencoklatan enzimatis). Glukosa tidak stabil pada suasana basa. Karamelisasi merupakan peristiwa pencoklatan non enzimatis pada senyawa gula. Proses ini terjadi adanya degradasi gula tanpa adanya enzim. Proses karamelisasi inilah yang menyebabkan terjadinya warna kuning pada percobaan diatas. Warna kuning ditimbulkan karena gula mengalami karamelisasi dengan adanya alkali (Tranggono, 1987).
Reaksi karamelisasi terjadi sebagai berikut :
(OH)
C6H12O6 C125H188O80
Glukosa Caramelin/Humin (DeMann, 1997)
Menurut Soeharsono (1978), larutan basa encer pada suhu kamar akan mengubah sakarida. Perubahan ini terjadi pada atom C anomerik dan atom C tetangganya tanpa mempengaruhi atom-atom C lainnya. Jika D-glukosa dituangi larutan basa encer maka sakarida itu akan berubah menjadi campuran: D-glukosa, D-manosa, D-fruktosa. Perubahan menjadi senyawaan tersebut melalui bentuk-bentuk enediolnya. Bilamana basa yang digunakan berkadar tinggi maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi sehingga monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan pencoklatan non-enzimatis (karamelisasi) bila dipanaskan dalam suasana basa (Soeharsono, 1978).
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan Sudarmanto (2000), yaitu bahwa pada pH diatas 4, dalam suasana alkali, glukosa siklik akan berubah kebentuk cincin terbuka yang mengandung gugus karbonil dan selanjutnya akan mengalami keseimbangan antara bentuk keto dan enolnya, yang disebut enolisasi. Enolasi pada glukosa menyebabkan terbentuknya keseimbangan antara campuran glukosa, fruktosa, dan manosa dengan enediol sebagai senyawa antara. Warna kuning kecoklatan yang terjadi merupakan akibat dari terbentuknya keempat senyawa diatas (Sudarmanto, 2000).
Pada tabung reaksi 2 (telah ditambah HCl 0,1 N) tidak terjadi perubahan warna karena glukosa stabil pada kondisi asam. HCl tidak mampu menghidrolisis glukosa. Pada pH 3-4 kebanyakan gula reduksi stabil (Fenema, 1976).
Pada tabung reaksi ketiga, tidak terjadi perubahan warna. Sebelum pemanasan, larutan berwarna putih bening dan setelah pemanasan berwarna putih bening. Aquadest bersifat netral sehingga tidak dapat menghidrolisa glukosa walaupun disertai pemanasan. Aquadest hanya berfungsi sebagai pelarut.
3. Gelatinisasi terhadap tepung tapioca dan tepung maizena
Tapioca
Suhu 60 oC Suhu 70 oC Suhu 100 oC
Perbesaran 45 x 10 45 x 10 45 x 10 45 x 10
Bentuk Bulat Bulat Bulat Bulat
Ukuran kecil Bertambah kecil Bertambah besar pecah
Warna Biru Biru tua Biru tua Biru pudar
Waktu pengosongan 13,90 detik 13,21 detik 14,93 detik 13,40 detik
Maizena
Suhu 60 oC Suhu 70 oC Suhu 100 oC
Perbesaran 45 x 10 45 x 10 45 x 10 45 x 10
Bentuk Bulat Bulat Bulat Bulat
Ukuran kecil Bertambah kecil Bertambah besar pecah
Warna Ungu Ungu tua Ungu tua Ungu muda
Waktu pengosongan 13,32 detik 13,64 detik 13,34 detik 13,81 detik
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pada tepung tapioca dan tepung maizena. . Gel merupakan jaringan tiga dimensi yang bersifat agak padat dan medium terdispersinya terkurung di dalamnya (Meyer, 1973). Pembentukan gel disebut gelatinisasi yaitu peristiwa dimana granula pati mengalami pembengkakan luar biasa karena menyerap air yang banyak dan menyebabkan pecahnya granula pati yang bersifat tidak dapat kembali ke keadaan semula atau biasa disebut irreversible. Suhu pada saat granula pati ini pecah desebut suhu gelatinisasi (winarno, 2002).
Bentuk granula pati tepung maizena lebih kecil sedangkan pada tepung tapioca terlihat lebih lonjong. Langkah yang dilakukan dalam percobaan ini adalah mengambil tepung tapioka dan tepung maizena dan dimasukkan ke dalam 4 gelas beker 100 ml, masing-masing sebanyak ½ sendok teh. Kemudian ditambah dengan air suling sampai terbentuk pasta. Sambil diaduk, pada gelas pertama ditambahkan air suhu kamar, gelas kedua ditambahkan air suhu 60oC, gelas ketiga ditambahkan air suhu 70oC, dan pada gelas keempat ditambahkan air mendidih, masing-masing sebanyak 50 ml. Setelah itu masing-masing dibuat preparat dan ditambahkan larutan iodine encer dan ditutup dengan gelas preparat. Lalu diamati dengan mikroskop dan dibuat gambar tiap preparat serta dibandingkan.
Penambahan air suling dimaksudkan untuk membengkakkan granula pati. Kemudian diaduk agar air suling dapat tercampur dan membentuk pasta. Pembentukan pasta dimaksudkan untuk mempermudah pelarutan pati dalam air berbagai suhu sehingga tidak terjadi penggumpalan karena granula pati telah terhidrasi dan granulanya lebih homogen sehingga dapat mempercepat pemecahan granula dalam mengamati suhu gelatinisasi pati dari tepung tapioka dan tepung maizena.
Pada gelas 1 ditambahkan 50 ml air suhu kamar, gelas ke2 ditambah dengan 50 ml air 600C, gelas 3 ditambah dengan air 50 ml suhu 750C, dan gelas 4 ditambah dengan air 50 ml suhu 1000C. Tujuan ditambahkannya air dalam berbagai suhu adalah untuk mengetahui besarnya pembengkakan granula pati pada tiap-tiap kondisi air yang ditambahkan sekaligus untuk mengetahui suhu gelatinisasi dari masing-masing pati. Penambahan air panas akan menyebabkan granula pati mengalami peningkatan volume menjadi lebih besar. Peningkatan volume C°granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55-65 merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 2002). Pengadukan yang dilakukan dimaksudkan agar campuran menjadi homogen.
Buat preparat untuk tepung tapioca dan maizena dengan menambahkan larutan iodine encer. Fungsi penambahan larutan iodin adalah untuk mempermudah pengamatan terhadap granula pati. Struktur pati yang berbentuk spiral akan mengikat molekul iodin dan terbentuklah warna biru atau ungu. Tetapi bila pati dipanaskan, spiral akan meregang dan molekul-molekul iodin akan terlepas sehingga warna biru atau ungu akan hilang (Winarno, 2002). Untuk itu, pada suhu 1000C, warna ungu pada granula maizena dan warna biru pada granula tapioca makin pudar. Granula yang pecah memiliki daya serap warna yang lebih rendah.
Pada granula tapioca dan maizena yang ditambah deengan air suhu kamar, memiliki bentuk granula yang utuh (mantap), warna ungu, granula-granulanya kecil (belum mengalami pebengkakan). Sedangkan granula pati yang ditambah dengan air suhu 600C bertambah kecil dan warna ungu/birunya semakin kuat, bentuknya bulat namun sedikit tidak utuh, waktu pengosongannya semaikn cepat (pada tapioca) dan semakin lambat (pada maizena). Ukuran granula bertambah kecil karena granula mengalami penigkatan energi kinetic sehingga saling mendeesak satu sama lain sehingga sedikit yang terperangkap dalam granula keluar sehingga terjadi penurunan volume. Hal ini menyimpang dari dasar teori. Hali ni disebabkan karena proses pengadukan yang kurang sempurna. Warna yang semakin pekat disebabkan karena air yang keluar dari granula mengakibatkan iod semakin mudah masuk kedalam granula dan warnanya menjadi semakin pekat.
Bentuk granula pati pada tapioca dan maizena yang telah ditambah air suhu 800C semakin membesar. Granula patinya memiliki daya kemampuan untuk menyerap air. Pada suhu 600C, granula pati tidak mampu menerap air (ukuran granulanya semakin kecil). Pada suhu 800C, warnanya ungu tua/biru tua. Bentuk granula pati spiral akan mengikat iod. Menurut teori, suhu semakin tinggi akan mengakibatkan warna pada granula pati akan semakin pudar. Namun, percobaan yang dilakukan justru sebaliknya, warna semakin kuat. Hal ini disebabkan karena granula masih berbentuk spiral. Suhu 800C tidak dapat meregangkann bentuk spiral ini sehingga warna masih terikat kuat. Bentuk spiral yang tidak dapat diregangkan ini disebabkan karena proses pengadukan yang kurang baik sehingga air yang bersuhu 800C itu tidak dapat tercampur merata dengan baik.
Granula pati pada tapioca dan maizena yang telah ditambah air suhu 1000C mulai pecah namunn pada pengamatan tidak terlihat granulanya pecah. Hal ini disebabkan karena granulanya telah lama mengalami perpecahan namun pengamat tidak melihat. Sehingga yang terlihat oleh pengamat adalah butiran yang merupakan hasil perpecahan granula. Warrnanya semakin pudar karena granula yang pecah memiliki daya serap warna yang rendah.
Waktu pengosongan tapioca dan maizena pada suhu yang semakin tinggi seharusnya semakin besar pula, namun percobaan yang dilakukan menyimpang. Pada tapioca, pada suhu 600C waktu pengosongan turun, pada suhu 800C mengalami kenaikan, dan mengalami penurunan pada suhu 1000C. penyimpangan ini terjadi karena kesalahan perhitungan atau disebabkan karena granula pati yang digunakan telah mengalami penurunan kemampuan untuk menyerap air. Pada maizena, waktu pengosongan mengalami kenaikan pada suhu 600C, dan turun pada suhu 800C, dan naik pada suhu 1000C. Kenaikan waktu pengosongan pada suhu 100 C lebih kecil dari pada kenaikan pada suhu 60 C. Hal ini juga menyimpang dari dasar teori. Penyimpangan ini disebabkan karena kesalahan dalam perhitungan atau karena proses pengadukan yang kurang baik sehingga berpengaruh terhadap viskositas. Pada percobaan ini suhu gelatinisasi tapioca dan maizena sekitar 80-1000 C (menyimpang dari dasar teori).
Suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan energi kinetic molekul-molekul air sehingga air dapat masuk kedalam granula dan volume granula semakin besar. Semakin besarnya volume granula menyebabkan garnula satu dengan yang lain menjadi lebih dekat (kerapatan granula) sehingga gesekan antar granula dalam larutan tapioca dan maizena makin besar. Gaya gesek yang semakin besar tersebut menyebabkan viskositasnya semakin besar. Dalam percobaan ini mengalami penyimpangan sehingga belum mmampu menunjukkan pengaruuh suhu gelatinisasi terhadap viskositas sesuia dengan teori
VI. KESIMPULAN
1. Sukrosa relative stabil terhadap alkali sedangkan pada koondisi asam akan mengalami hidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa.
2. Maltosa tidak stabil pada koondisi asam, basa, dan netral sehingga mudah terhidrolisis menjadi 2 monomer glukosa.
3. Glukosa tidak stabil pada kondisi basa dan stabil pada kondisi asam dan netral
4. Kisaran suhu gelatinisaasi pada tapioca dan maizena adalah 80-1000C
5. Percobaan ini belum mampu membuktikan atau menerangkan pengaruh suhu gelatinisasi terhadap viskositas sesuai dengan dasar teori.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2001. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anonim, 1972. Daftar Komposi Bahan Makanan. Bhratara, Jakarta.
Basuki, Adil, Purwiyatno dan Tien R.M., 1988. Teknologi dan Pemanfaatan Ekstruksi. PAU ITB, Bandung.
De Mann, J., 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB, Bandung.
Fennema, O.W., 1976. Principle of Food Science, part I, Food Chemistry Marcel Dekker Inc. New York Inc. Bascl.
Lehninger, 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Meyer, L.H., 1973. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York.
Muljohardjo, M., 1987. Analisa Pati dan Produk Pati. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Radley, 1967, Standard Specifications & Quality Requirement for Processed Cassava Products, Tropical Products Institute, London.
Soeharsono, 1978. Petunjuk Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi, UGM Yogyakarta.
Sudarmadji, Slamet, 1982. Bahan-Bahan Pemanis. Agritech, Yogyakarta.
Sudarmadji, Slamet dkk., 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sudarmadji, Slamet dkk., 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sudarmanto, S.,dkk., 2000. Kimia Hasil Pertanian. FTP UGM, Yogyakarta.
Swinkles, J.J., 1985. Sources of Starch. Its Chemistry and Phisic. In : Benum GMA and Roels.
Tranggono,dkk., 1987. Kimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM, Yogyakarta.
Winarno, F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
JAWABAN PERTANYAAN
1. Perbandingan konsentrasi fraksi amilosa dan amilopektin dapat berpengaruh pada gelatinisasi. Struktur amilosa lurus dan ikatannya merupakan ikatan alfa-1,4-glikosidik. Struktur yang lurus merupakan ikatan yang kuat sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk memutus atau meregangkan ikatan tersebut. Energi yang besar diperoleh dari pemanasan. Semakin besar konsentrasi fraksi amilosa dapat menaikkan suhu gelatinisasi. Sedangkan amilopektin memiliki struktur yang ebrcabang sehingga dibutuhkan energi yang tidak terlalu besar untuk meregangakan atau memutus ikatannya (ikatan alfa-1,6-glikosidik). Penambahan konsentrasi fraksi amilopektin dapat menaikkan suhhu gelatinisasi walaupun tidak setinggi suhu gelatinisasi pada amilosa (pada konsentrasi fraksi yang sama).
2. Fungsi kita mengetahui suhu gelatinisasi adalah kita mampu memperlakukan suatu produk (pati) dengan suhuu gelatinisaasi tertentu. Misalnya suatu pati dengan suhu gelatinisasi 560C. tentunya kita harus memanaskan pati tersebut hingga suhu 560C. Pada suhu tersebut terjadi gelatinisasi yang maksimal sehingga bila pati tersebut dipanaskan dengan suhu yang kurang dari sehu tersebut, maka tidak akan didapatkan produk yang baik. Akan dihasilkan pati yang masih lembek dan berair. Dengan suhu gelatinisasi yang berbeda, maka produk (pati) harus diperlakukan dengan cara yang berbeda pula.
Aplikasi tentang pengetahuan suhu gelatinisasi :
- Pembuatan produk (agar-agar) yang cepat pembentukan gelnya sehingga waktu untuk memasaknya lebih efisien.
- Pembuatan produk tepung terigu dengan kualitas yang baik.
- Pembuatan produk tepung maizena dan tapioca
- Pengemasan produk tepung (yang mengandung pati) sehingga kemasan yang dihasilkan kedap air sehingga granula patinya (bahan higroskopis) tidak menyerap air. Selain itu, juga dapat diaplikasikan pada pembuatan kemasan yang tidak mudah menyerap panas.